MENGUKUR KERAPATAN POPULASI DENGAN METODE
PIT FALL TRAP
(PERANGKAP
JEBAK)
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Praktikum Ekologi
Hewan
penulis :
.
Ferry dwi restu
hendra
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SILIWANGI
TASIKMALAYA
2012
A. Judul
Mengukur
kerapatan populasi dengan metode Pit fall trap (perangkap jebak).
B.
Tujuan
Mengetahui
kerapatan populasi dengan metode Pit fall trap (perangkap jebak).
C.
Landasan
Teori
Hewan
tanah adalah hewan yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah
maupun yang hidup di dalam tanah. Tanah itu sendiri adalah suatatu bentangan
alam yang tersusun dari bahan-bahan mineral yang merupakan hasil proses
pelapukan batu-batuan dan bahan organic yang terdiri dari organisme tanah dan
hasil pelapukan sisa tumbuhan dan hewan lainnya. Jelaslah bahwa hewan tanah
merupakan bagian dari ekosistem tanah. Dengan denikian, kehidupan hewan tanah
sangat di
tentukan oleh faktor fisika-kimia tanah, karena itu dalam mempelajari ekologi
hewan tanah faktor fisika-kimia tanah selalu diukur.
Pengukuran faktor fisika-kimia tanah dapat di
lakukan langsung di lapangan dan ada pula yang hanya dapat diukur di
laboraturium. Untuk pengukuran faktor fisika-kimia tanah di laboraturium maka
di lakukan pengambilan contoh tanah dan dibawa ke laboraturium. Dilapangan
hewan tanah juga dapat dikumpulkan dengan cara memasang perangkap jebak (pit
fall-trap). Pengumpulan hewan permukaan tanah dengan memasang perangkap jebak
juga tergolong pada pengumpulan hewan tanah secara dinamik.
Perangkap jebak sangat sederhana, yang mana
hanya berupa bejana yang ditanam di tanah. Agar air hujan tidak masuk ke dalam
perangkap maka perangkap diberi atap dan agar air yang mengalir di permukaan
tanah tidak masuk ke dalam perangkap maka perangkap dipasang pada tanah yang
datar dan agak sedikit tinggi. Jarak antar perangkap sebaliknya minimal 5
m. Pada perangkap tanpa umpan, hewan
tanah yang berkeliaran di permukaan tanah akan jatuh terjebak, yaitu hewan
tanah yang kebetulan menuju ke perangkap itu, sedangkan perangkap dengan umpan,
hewan yang terperangkap adalah hewan yang tertarik oleh bau umpan yang
diletakkan di dalam perangkap, hewan yang jatuh dalam perangkap akan terawat
oleh formalin atau zat kimia lainnya yang diletakkan dalam perangkap tersebut. Organisme sebagai bioindikator kualitas tanah bersifat
sensitif terhadap perubahan, mempunyai
respon spesifik dan ditemukan melimpah di
dalam tanah (Primack, 1998).
Salah satu organisme tanah adalah
fauna yang termasuk dalam kelompok
makrofauna tanah (ukuran > 2 mm) terdiri dari milipida, isopoda, insekta,
moluska dan cacing tanah (Wood, 1989).
Makrofauna tanah sangat besar peranannya dalam proses dekomposisi,
aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, bioturbasi dan
pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994).
Biomasa cacing tanah telah diketahui merupakan bioindikator yang baik
untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan horison organik, kelembaban tanah dan
kualitas humus. Rayap berperan
dalam pembentukan struktur tanah
dan dekomposisi bahan organik (Anderson,
1994). Penentuan bioindikator kualitas tanah diperlukan untuk mengetahui perubahan dalam sistem tanah akibat pengelolaan yang berbeda.
Perbedaan penggunaan lahan akan mempengaruhi populasi dan komposisi makrofauna tanah (Lavelle,
1994). Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara monokultur pada sistem pertanian konvensional
dapat menyebabkan terjadinya penurunan secara nyata biodiversitas makrofauna
tanah (Crossley et al., 1992; Paoletti
et al., 1992; Pankhurst, 1994).
Mengingat pentingnya peran fauna tanah
dalam menjaga keseimbangan ekosistem tanah dan masih relatif terbatasnya informasi mengenai keberadaan
fauna tanah, perlu dieksplorasi potensi fauna tanah sebagai bioindikator
kualitas tanah. Fauna tanah, termasuk di dalamnya serangga tanah, memiliki
keanekaragaman yang tinggi dan masing-masing mempunyai peran dalam ekosistem.
D.
Alat dan Bahan
1.
Formalin
2.
Botol
3.
Pisau atau benda tajam
lainnya
4.
Kertas mika
5.
Tusuk sate
E.
Cara
kerja
1. Mencari
lokasi pengamatan yang aman dari gangguan manusia
2. Menanam
botol jam yan berisi sedikit formalin 10% (kurang lebih 5 cm dalam ketinggian
botol jam) pada tanah datar dan meletakan sedikit agak tinggi, agar air hujan
tidak masuk ke dalam botol jam.
3. Mencatat
kondisi lingkungan area yang diteliti
4. Jarak
antara perangkap minimal 5 m.
5. Membiarkan
botol jam selama 24 jam
6. Mengamati,
mengidentifikasi dan menghitung.
F.
Hasil Pengamatan
Pengamatan
dilakukan pada tanah sampel seluas P= 10 cm, L= 17 cm
1. Jumlah hewan tanah di dekat lab.
Zoologi, dengan cara pit fall trap
Sampel
kelompok
|
Nama
Takson
|
Jumlah
Species
|
|||||||
|
Semut hitam
|
1
|
|||||||
Semut merah
|
1
|
||||||||
|
Nyamuk
|
2
|
|||||||
Semut merah
|
1
|
||||||||
|
Semut hitam besar
|
1
|
|||||||
Semut merah
|
2
|
||||||||
Seranga kecil
|
1
|
||||||||
4.
|
Semut merah
|
5
|
|||||||
Undur undur tanaman
|
1
|
Berdasarkan hasil pengamatan maka jumlah
species dekat lab. Zoologi adalah sebagai berikut :
Botol 1 : berjumlah 2
Botol 2 : berjumlah 3
Botol 3 : berjumlah 4
Botol 4 : berjumlah 6
2. Kerapatan hewan tanah di dekat lab.
Zoology, dengan cara pitfall trap
o
Menghitung indeks
dominan (C)
v pada
sampel no 1 species semut hitam
C=
∑ (ni/N)2 = 1: 2= 0,5
v pada
sampel no 2 species nyamuk
C= ∑ (ni/N)2 = 2: 3=
0,7
v pada
sampel no 3 species semut hitam besar
C= ∑ (ni/N)2 = 1: 4=
0,25
v pada
sampel no 4 species semut merah
C= ∑ (ni/N)2 = 5: 6=
0,83
o
Menghitung indeks
kesamaan (S) pada dua sampe
Sampel
no 1 dan 2 yang dipilih
S = 2 C
= 2 2
A + B 2+ 2
indeks
ketidaksamaan = 1-S= 1 – 1 = 0
G.
Pembahasan
Berdasarkan
hasil semua sampel yang digunakan bahwa semuanya
terdapat hewan tanah yang terjebak didalamnya. Berdarakan hasil pengamatan yang
dilakukan berdasarkan data dari tabel pengamatan diatas dapat
diketahui bahwa kerapatan populasi disuatu tempat dapat diukur dengan
menghitung besarnya populasi persatuan ruang habitat yang didiami oleh populasi
organisme tersebut. Setelah melakukan perhitungan dari keempat sampel yang di ujikan, diketahui
bahwa semut merah
pada sampel no 4 memiliki kerapatan yang tinggi
dibandingkan dengan hewan tanah yang lainnya.
Kondisi
lingkungan yang kami amati dilihat dari tekstur tanahnya tidak kering, cocok
ungtuk perkembangan ekosistem yang ada disana. Selain itu tanah telihat subur
berdasarkan kandungan bahan orgaiknya didata pada percobaan pengukuran kadar
material organik.
Untuk membandingkan kerapatan hewan
antara cara ekstraksi dan pit fall trap, kami
tidak dapat membandingkannya. Karena pada percobaan cara ekstraksi kami tidak
dapat menemukanadnya
hewan tanah. Namun
kami dapat memperkirakan cara perhitungan kerapatan hewan tanah dengan pit fall trap lebih efektif dengan cara pit fall trap jika dibandingkan dengan cara
ekstraksi, karena pada waktu percobaan ekstraksi kami tidak mendapatkan hewan tanah yang masuk
kedalam alat percobaanya.
Mungkin
semut adalah kelompok serangga yang kelimpahan dan rentang penyebarannya paling
luas, dan dapat dijumpai di hampir semua jenis habitat, kecuali perairan.
Wilson (1987) menjelaskan, bahwa semut adalah kelompok serangga yang paling
mampu beradaptasi. Beberapa catatan memperlihatkan bahwa tidak kurang dari 24
genera semut yang diduga hidup pada jutaan tahun yang lalu, masih dijumpai
hingga saat ini, di antaranya genus Ponera, Tetraponera, Aphaenogaster,
Monomorium, Iridomyrmex, Formica, Lasius, dan Camponotus.
Banyak jenis semut dapat bersifat invasif dan sekaligus
merusak. Misalnya, semut Anoplolepis gracilipes tercatat sebagai salah
satu spesies yang bersifat invasif dan dominan terhadap spesies organisme yang
lain (Miller, 2004; Davis et al., 2008). Spesies ini menimbulkan masalah di
Australia karena mampu mendominasi sebagian besar wilayah di bagian utara
Australia, serta membunuh 1/3 populasi kepiting darat merah lokal, dan
dikuatirkan akan mengubah ekosistem di beberapa tempat yang lain.
Namun,
kajian-kajian yang lain menjelaskan peran semut yang menguntungkan bagi
ekosistem, misalnya peranannya sebagai perantara proses perombakan oleh
organisme yang lain. Aktivitas semut di dalam tanah (mereka bertindak sebagai
pengolah tanah, misalnya pada saat pembuatan sarang) secara tidak langsung
mempengaruhi tekstur tanah, yang pada gilirannya akan mempercepat proses
penguraian.
Banyak
ilmuan berpendapat bahwa nyamuk sangat berperan sekali dalam menjaga
keseimbangan ekosistem di bumi ini, namun ada juga ilmuan yang berpendapat
bahwa beberapa spesies nyamuk tidak terlalu berpengaruh pada keseimbangan
ekosistem, dan menegaskan bahwa nyamuk harus dimusnahkan dari muka bumi ini.
Pada
tahun 1974, ahli ekologi John Addicott dari University of Calgary
mempublikasikan struktur predator dan mangsa pada tanaman pelontar Larva nyamuk
merupakan anggota yang penting dari komunitas sempit di kolam super mungil
bervolume 25-100 ml dari tanamanSarracenia purpurea di pantai timur Amerika
utara. Hanya spesies nyamuk Wyeomyia smithi dan Metriocnemus knabi yang tinggal
bersama disana bersama-sama dengan bakteri dan hewan bersel satu. Ketika
serangga lainnya tenggelam, nyamuk ini akan memakan bangkainya sementara larva
akan mengolah sisa bangkai tersebut menjadi nitrogen yang diperlukan tanaman.
Dalam kasus ini, nyamuk mungkin akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Alasan
yang kuat untuk mempertahankan nyamuk mungkin ditemukan bila mereka menyediakan
pelayanan ekosistem yang berguna pada alam dan manusia.
H.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penganmatan penjebakan
hewan dengan cara pit fall trap terdapat beberapa hewan yang
terjebak disana. Dari hasil itu kita dapat menghitung kerapatan populasi tanah
tersebut. Keselrhan dari hasil pengamatan bahwa hewan tanah yang paling banyak didapatkan adalah semut
merah. Disamping itu hewan hewan tersebut banyak memiliki peranan dalam
ekosistem tersebut, misalnya hewan yang kita kenal berbahaya yaitu nyamuk, dari
beberapa spesiesnya dapat berperan sebagai penyedia nitrogen yang bermanfaat
bagi tumbuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar